Review
Ketika Mas Gagah Pergi
“Gita!”
panggil Mas Gagah
Gagah Perwira Pratama atau biasa dipanggil Gagah ini
adalah sosok lelaki sekaligus kakak yang baik dan penyayang terhadap adiknya
yang bernama Gita. Sejak kecil Gagah selalu menemani kemanapun adiknya pergi, ia tak pernah
meninggalkannya sendiri walaupun dirinya kadang juga jail terhadap Gita. Gagah
merupakan lelaki yang jagoan dan juga juara bagi Gita, yang nggak akan pernah
ninggalin Gita dan selalu mau berbagi dengan adik perempuannya itu.
“Ini
adik gue, jangan pernah kalian mengganggu adik gue lagi!” begitu ucap Gagah
yang sedang membela Gita di hadapan teman-teman yang mengganggunya.
Waktu terus berjalan mengiringi hari-hari kakak beradik
itu. Merekapun kini telah tumbuh menjadi manusia dewasa dan remaja. Gagah
tumbuh menjadi satu-satunya lelaki yang paling gagah buat Gita, yang bisa
ngertiin sekaligus paling keren di mata Gita. Gagah menjadiseorang model
terkenal, hanya Gagah yang bisa membuat hari-hari Gita menjadi asyik dan penuh
warna. Ketika papa meninggal, Gita begitu merasa kehilangan. Tak ada yang bisa
menggantikan kasih sayangnya kecuali Gagah. Kehadirannya kembali menguatkan
Gita, dia akan menjadi panutan yang sempurna untuk Gita. Gagah lah yang kini
memikul tanggungjawab menjaga keluarganya. Kecerdasan dan ketegasan Papa
mengalir dalam diri Gagah. Gagah terus berjuang melakukan apa saja demi masa
depan keluarganya. Dia adalah keajaiban dan penyelamat nafas keluarganya. Hingga
pada akhirnya Gagah menjadi lelaki mandiri dan selalu bersemangat mengejar
mimpi. Suatu hari Gagah membeli sebuah mobil berwarna putih menggantikan mobil
Papa yang selalu membuat Gita menangis ketika melihatnya. Itu membuat Gita
merasa sangat senang. Sejak saat itu Gagah selalu ada untuk Gita, Gagah selalu
bersedia menghabiskan waktu bersama adiknya dan selalu membimbingnya. Setiap
berangkat dan pulang sekolah Gagah selalu mengantar dan menjemputnya. Hal itu
menjadikan teman-teman Gita merasa iri padanya.
“Kita
jadi backpackeran Mas?” tanya Gita saat berada di dalam mobil
“Jadi
dong, Mas sudah browsing nih, kamu mau ke Korea atau ke Turki?” tanya Mas Gagah
“Serius?”
tanya Gita girang tak percaya
“Serius”
jawab Mas Gagah meyakinkan
“Aku mau
dua-duanya Mas”
“Eh,
pilih salah satu dong” ucap Mas Gagah membuat Gita manyun. “Tapi ntar setelah
Mas Gagah pergi ya?” lanjut Mas Gagah meminta pendapat.
“Emang
Mas Gagah jadi pergi?”
“may be!”
“Nggak
jadi backpackeran nggakpapa deh Mas!” ucap Gita kesal
“Lho kok
gitu?”
“Asal
Mas Gagah nggak jadi pergi”
“Bener?”
goda Gagah
“Serius!”
ucap Gita geram
“Keluar
deh Gito nya” goda Gagah lagi
“Gito
lagi deh, enak aja! Gita!”
“Gito”
“Mas
Gagah!” teriak Gita manja
###
“Serius
ni Mas Gagah jadi pergi?” tanya Gita yang saat itu sedang melihat Gagah
mengemasi barang-barangnya. “Trus Gita gimana? Nggak ada yang nemenin Gita
dong? Lagian ngapain sih Mas pakai ke Ternate segala?” tambahnya
“Kan Mas
sudah bilang, buat penelitian skripsi Mas, sekalian ada proyek dari kontraktor
Mas yang Mas biasa part time disana”
“Trus
berapa lama?”
“Sekitar
satu atau dua bulan”
“Dua
bulan? Ah sebel! Nggak ada Mas Gagah tu nggak asik Mas, kemana-mana sendiri”
rengek Gita manja
“Eh, kok
jadi kolotan gitu sih? Kamu kan masih bisa keluar sama temen-temen kamu” ucap
Gagah berusaha menenangkan adik kesayangannya itu
“Nggak
ah! Asikan sama Mas Gagah, aku ikut yah?” Gita mulai merayu
“Ikut?
Ikut kemana?”
“Ikut
Mas Gagah lah, eh serius nih aku pengen ikut”
“Eh,
enggak-enggak! Ini kan bukan liburan Gita” tolak Gagah
“Nggak
mo tau!”
“Trus
kalau kamu ikut, sekolah kamu gimana? Mamah?”
Pertanyaan itu membuat Gita terdiam. Selesai berberes,
Gita dan Mamah mengantar kepergian Gagah ke bandara. Gita masih saja berusaha
merayu mas nya agar tidak jadi pergi.
“Gagah
pergi dulu ya, da Mamah da Gita”
Dua bulan berlalu setelah kepergian Gagah. Mamah dan Gita
kembali ke bandara untuk menjemputnya.
“Assalamualaikum”
seorang lelaki berjenggot dengan pakaian koko berdiri tepat di depan Gita dan
Mamah. Keduanya terheran melihat sosok lelaki itu.
“Waalaikumsalam”
jawab Mamah dan Gita
“Mah,
Gita” sapa nya
Ya! lelaki berjenggot itu adalah Gagah. Seorang kakak
yang kehadirannya selalu dinanti oleh Gita. Gagah terlihat sangat berbeda
sepulang dari Ternate, mulai dari penampilan dan sikapnya yang semakin alim.
Sesampainya dirumah, seperti biasa Gita memulai pembicaraan melalui pesan yang
dikirim lewat handphone nya. Dulu sebelum pergi ke Ternate Gagah selalu respect
bila handphone nya berdering, tapi kini berbeda, dia sama sekali tak peduli
bahkan terlihat semakin asik membaca buku yang dipegangnya.
“Mas...!”
teriak Gita merengek
“Lho,
kok pakai teriak-teriak gitu?”
“Dua
bulan delapan belas hari, sejak Mas Gagah dari Ternate hingga hari ini? Memang bener,
Mas Gagah bener-bener beda sekarang!” protes Gita
“Beda
gimana? Biasa aja kayaknya”.
“Nggak
usah sok gitu deh! Emang Mas Gagah nggak ngerasa? Tuh jenggot apaan? Pakai
nggak ngaku lagi! Sejak Mas Gagah pulang dari Ternate, Mas Gagah berubah!
Drastis! Emangnya Mas Gagah ngapain aja sih disana?” Protes Gita kembali
merengek.
“Maaf ya
Git, sebenarnya, Mas, pengen banget cerita ke kamu, tapi Mas nggak tau harus
mulai dari mana? Mas belum siap, nanti kalau waktunya tepat..”.
“Nanti!
Nanti! Dulu Mas Gagah suka cerita apa saja lho sama Gita, emangnya Mas Gagah
mikir Gita itu siapa?! Ngeselin banget sih!” ucapnya jengkel memotong
penjelasan Gagah.
“Kasih waktu Mas Gagah ya Git?”
“Sampai
kapan?” protes Gita
Gagah terdiam mendengar pertanyaan Gita. Dalam pikirnya
ia bingung bagaimana menjelaskan itu semua kepada keluarganya. Gita pun meninggalkan
Gagah sendirian di meja makan.
###
Seperti biasa, Gagah mengantarkan Gita ke sekolah, tapi
kali ini Gita yang menyetir mobilnya. Di dalam mobil Gagah terus menerus
melantunkan ayat-ayat Al-quran yang telah ia hafal selama di Ternate dan itu semua
membuat Gita merasa risih mendengarnya. Ia dengan sengaja mengerem mobilnya
secara mendadak.
“Astaghfirulloh,
Git kalem Git, udah biar Mas aja ya yang bawa? Kan biasanya juga gitu” ucap
Gagah kaget
“Kenapa?
Nggak percaya?”
“Astaghfirulloh”
gumam Gagah lirih
“Lagian
ngapain sih Mas, komat kamit mulu dari tadi? Kalau Gita nggak konsen gimana?”
Gagah kemudian menyalakan lagu nasyid tanpa menjawab
pertanyaan dari Gita tersebut. Senandung nasyid berbahasa arab pun mulai
terdengar membuat Gita semakin merasa kesal.
“Matiin
Mas!”
“Ini
nggak seperti yang dulu Gita, kalau yang dulu itu belum tentu mendatangkan
manfaat, apalagi pahala” jelas Gagah
“Ya
lagian kita orang Arab? Dengerin lagunya kok gituan?” protesnya lagi
“Ini
nasyid Gita, bukan sekedar nyanyian, tapi juga dzikir, dzikir kepada Allah”
Mendengar itu Gita langsung keluar dari mobil, ia tak mau
lagi di antar ataupun di jemput oleh Gagah. Ia lebih memilih untuk naik bus
umum.
###
Ada yang berbeda pagi ini di meja makan. Kebekuan suasana
terasa ketika itu. Gagah berusaha mencairkan suasana saat itu, sekaligus ingin
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya selama di Ternate.
“Mamah,
Gita, akhir-akhir ini mungkin Mamah dan Gita merasa ada yang berbeda dengan
Gagah, sebenarnya enggak Mah, Gagah cuma sedang belajar melakukan sesuatu yang
Gagah anggap itu benar, Ya Rabbana, dan Mas nggak pernah berubah, Mas tetap
sayang sama kamu, Dik Manis, juga Mamah” jelas Gagah memulai pembicaraan.
“Dik
Manis?” sahut Gita heran, merasa aneh dengan panggilan itu.
“Waktu
di Ternate Mas bertemu dengan seorang kiai hebat namanya Kiai Ghufron, ya Kiai
Ghufron, subhanallah orangnya sangat bersahaja, santri-santrinya pun luar
biasa, disana Mas menggunakan waktu luang Mas untuk mengaji, dan dunia terasa
lebih terang, Kiai Ghufron mengajarkan kepada Mas hakikat islam yang
sebenarnya, beliau menunjukkan bahwa islam itu indah, islam itu cinta, ya!
Indah, cinta” ucap Gagah menceritakan pengalamannya di Ternate
“Hebat
banget sih dia Mas? Bisa bikin Mas berubah! Dan aku nggak ngerti Mas ngomong
apa! Lebay!” ucap Gita sembari meninggalkan meja makannya.
“Mah”
Gagah berusaha membuat Mamahnya berbicara,namun Mamahnya tetap saja diam sambil
menikmati sarapannya.
###
Mulai hari ini Gita berangkat sekolah menaiki bus. Ada sesuatu
yang berbeda di dalam bus. Ketika Gita telah duduk di bangku bus, tiba-tiba
seorang lelaki masuk ke dalam bus itu, dan kali ini bukan seorang pengemis atau
preman, melainkan seorang mahasiswa yang mendakwah disitu.
“Assalamualaikum,
salam sejahtera” ucap lelaki muda itu
“Yang
lain aja deh mas” sahut para penumpang bus
“Mohon
maaf mengganggu kenyamanan bapak, ibu dan saudara-saudara ku sekalian,
ijinkanlah saya menunaikan kewajiban saya yang telah diberikan setitik ilmu
oleh Allah SWT yang tentunya harus saya sampaikan, selain di amalkan,
saudara-saudaraku, bapak, dan ibu, apakah kita sudah berhijrah?”
“wah
berat tuh” sahut salah satu penumpang bus
“ngomong
apaan sih?” sahut penumpang yang lain
“Hijrah,
kenapa? Kedengarannya asing? Aneh? Mungkin karena belum tau, mau tau?
Sebenarnya hijrah itu artinya pindah, berubah, move on, ya move on, moving on
where, what Allah say yes? yes kesesuatu yang lebih baik, yes meninggalkan
kemaksiatan dan kemungkaran dalam hati, perkataan dan perbuatan, semoga kita
menjadi orang-orang yang senantiasa bersemangat untuk berhijrah! Untuk meraih
kemenangan makanya kita harus berjihad!”
“Jihad?”
tanya penumpang bingung
“Ya!
Jihad! Jihad itu tak seperti yang kita bayangkan! Jihad itu artinya kita
sungguh-sungguh dijalan Allah, fi sabilillah, lurus di jalan Allah,
wassalamualaikum”
Gagah kini tak lagi bergaul bersama teman-temannya yang
dulu, ia lebih sering berada di dekat orang-orang yang membawa manfaat untuk
kehidupannya. Ia menemukan kehidupan baru dikampusnya.
###
“Berkali-kali
Abah sudah bilang kepada mu, bahwa kakakmu itu tidak akan pulang saat ini Yudi,
karena masih ada kerjaan yang harus diselesaikan disana, dan juga kau ngotot
jemput dia! Sekarang Abah tanya, mana kakakmu? Mana? Ya Tuhan, Abah dan Umi
tinggal punya kau dan kakakmu, sekarang ini abah merasa sudah tua, jadi kau
harus berpikir bagaimana cara kau bisa bertanggungjawab kepada semua ini” ucap
Abah pada Yudi berusaha menasehatinya.
“Tapi..”
sela Yudi
“Tapi!
Tiap kali kita debat masalah ini kamu selalu pakai alasan tapi! Tapi! Apa sih?!
Nggak ada kata-kata lain apa? Santri-santri abah itu ikut apa kata abah, tapi
kamu? Abah nggak ngerti apa sih mau nya kau nak? Padahal kau kan anak abah
sendiri, Astaghfirulloh, kau kan sudah dewasa nak, mestinya kau ngerti apa yang
abah inginkan, apa yang umi inginkan, ngerti mestinya! Sudahlah, mulai sekarang
kau tidak perlu lagi pergi ke tempat-tempat apa itu? Latihan teater? Nggak
perlu lagi kau khotbah sana sini, Abah denger juga kau bantu-bantu orang diluar
sana, kalau mau bantu, bantu orang-orang disini!”
“Dakwah
Abah” bela Yudi
“Dakwah
Abah! Dakwah Abah! Dakwah ya disini Yudi! Di tempat seperti ini! Ha!”
“Tapi
kan Abah, yang mengajarkan saya sampaikan kebenaran walau hanya satu ayat kepad
siapapun dan dimanapun dimuka bumi ini, kalau saya hanya berdakwah disini Bah,
bagaimana....”
“Alah
kamu!” bentak Abah memotong penjelasan Yudi
“Abah,
sudah Bah, Umi tau Abah benar, tapi mungkin Yudi perlu waktu” sahut Umi segera
menghentikan perdebatan itu
“Waktu,
waktu apa?!”
“Dan
kamu Yudi, harusnya kamu tahu, kamu satu-satunya anak Umi yang menjaga Umi sama
Abah disini, jadi siapa yang bertanggungjawab atas semua ini kalau bukan kamu?”
kata Umi menasehati
###
Hari ini Gagah bertemu dengan tiga preman yang
memalaknya. Gagah menghajar preman tersebut karena ulah mereka yang secara
tidak sopan meminta uang pada Gagah. Kekalahan preman tersebut membawa Gagah
pada sebuah rumah yang berisikan anak-anak tak mampu.
“Sebenarnya
kalau tadi minta uang nya baik-baik pasti saya kasih Bang” ucap Gagah
“Ya
terpaksa atu kang”
“Sebetulnye
kite nih udah kagak mau malak orang lagi, tapi loe lihat sendiri anak-anak itu,
apa loe tega ngelihat bocah-bocah ntu? Sejak bini gue meninggal, gue nggak
punya siape-siape lagi, anak kagak punye, rumah ni peninggalan orang tua”
“Jadi
Bang Ured yang merawat anak-anak tadi?” tanya Gagah
“Yah,
niatnya sih gitu”
“Kita
bertiga ni sebenernya udah inshaf jadi preman, kita tu pengen cari uang yang halal-halal
saja begitu, tapi ternyata...”
“Ternyata
berat euy, berat pisan hidup bener teh, apa kita balik kaya dulu kang? Perasaan
lebih mudah cari uangnya”
“Jangan
Bang, jangan! Hidup abang-abang itu udah bener” ucap Gagah menghentikan niat
mereka
“Bener
gimana maksud loe?”
“Ya
bener, ngurusi anak-anak tadi, bangunin rumah ini, udah bener itu bang! Cuma
tinggal ibadahnya bang” jawab Gagah
“Ibadah
kayak apa? Doa sudah banyak yang lupa” kata Asep
“Loe
masih mending Sep doa lupa, daripada saya tidak tau mau ngomong apa dengan
Tuhan”
“Sekarang
yang pasti-pasti aja deh, yang penting dapat duit buat makan anak-anak itu”
“Betul
Bos! Ibadah, doa, apanya yang mesti dimakan?”
“Gini
bang, mungkin jalan hidup kita kelihatan susah, karena kita sering lupa sama Yang
Maha Pencipta, insyaallah, nanti saya dan teman-teman saya akan bantu bang”
ucap Gagah
Gagah yang tadinya hanya ingin mengembalikan sebuah
dompet yang di temunya, akhirnya dipertemukan dengan tiga orang preman yang
membawa Gagah pada kebaikan. Gagah memutuskan untuk ikut membantu anak-anak
disitu dan membantu merenovasi tempat anak-anak tinggal. Tempat itu kini diberi
nama Rumah Cinta.
###
“Mas!
Mas Gagah!” teriak Gita sembari berjalan menuju kamar Gagah
Sampai didepan pintu ia terheran melihat tulisan arap
tertempel di pintu kamar Gagah. Setelah dibaca artinya, Gita segera mengetuk
pintu itu dan mengucap salam.
“Assalamualaikum,
Mas!”
“Waalaikumsalam,
ada apa dik manis?”
“Dik
manis? Tu ada Tresye nyariin Mas tu!”
Gagah segera turun dan menemui Tresye yang sedang asyik
berbicara dengan Mamah. Tresye sudah menceritakan semuanya pada Mamah dan Gita
bahwa Gagah telah berhenti menjadi seorang model. Gagah pun sampai diruang tamu,
Tresye begitu heran melihat penampilan Gagah yang sangat tak diduganya.
“Gagah,
apa kabar?” tanya Tresye menyodorkan tangannyamengajak Gagah bersalaman
“Baik,
Alhamdulillah” jawab Gagah sembari menyatukan kedua telapak tangan ke depan
dada tanpa menyentuh Tresye
Tak lama kemudian teman-teman Gagah datang kerumah, ia
pun segera menyambutnya dan meninggalkan Tresye yang masih berdiri ditempatnya
tadi.
“Mah,
Gagah ngaji dulu ya” ucap Gagah meminta ijin untuk pamit
“Oh,
iya”
“Mas,
Mas!” Gita mencoba menghentikan Gagah di tangga. “Sok suci banget sih Mas?
Masak pakai nggak mau salaman segala sama Tresye? Mas jangan gitu dong, itu tu
sama aja nggak ngehargain orang! Lagian Tresye udah deket sama kita, kan nggak
enak!” protes Gita
“Lho,
justru karna Mas menghargai dia makanya Mas begitu, Gita tau nggak kalau orang
sunda salaman? Nggak sentuhan tapi tetep santun, itu yang bagus” jelas Gagah
“Kog
bawa-bawa orang sunda segala sih? Nggak nyambung!”
“Bentar
ya Dik Manis” ucap Gagah sembari mengambil sesuatu dari dalam kamar. “Nih baca”
pintanya kemudian.
“Apaan?
Dari Aisyah RA, demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasululloh SAW tidak pernah
berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan makhromnya, hadist Bukhori Muslim,
tapi Kiai Anwar mau salaman dengan Mamah, Haji Totok, Haji Kari sama Ustad Ali..”
“Bukankan
Rasululloh Uswatun Khasanah? Teladan yang baik? Biar saja mereka begitu, tapi
Mas enggak, nggakpapa kan? Coba untuk mengerti dan menghargai ya Dik Manis”
“Coba
untuk mengerti dan menghargai ya Dik Manis! Mas tu yang harus ngertiin aku!
Ucapnya jengkel kemudian meninggalkan Gagah
Setelah perdebatan
itu, Gita menerima foto-foto yang dikirim Gagah. Foto itu adalah foto Rumah
Cinta. Gita masih saja tidak mengerti dengan semua itu.
“Hah!
Uang backpackeran kita Mas kasih ke mereka? Jadi Mas Gagah lebih memilih tiga
preman itu daripada adiknya sendiri? Gitu?”
“Bukan
gitu Dik Manis, mereka kan lebih butuh bantuan sekarang, kita juga bisa jalan
kapan aja kan nanti? Sabar ya? Insyaallah bulan depan honor Mas sudah bisa di
ambil kok”
“Emangnya
Mas nggak tau? Adikmu ini juga butuh bantuan Mas! Butuh bantuan buat di
ngertiin, butuh bantuan buat di perhatiin lagi kaya dulu! heh! Aku pikir kalau
kita jadi backpackeran, kita bisa ngomong dari hati ke hati! Kita bisa
selesaiin semua masalah kita!”
“Ya Mas
nggak punya maksud untuk gitu Dik Manis”
“Aah!
Mas kan udah janji sama Gita, sekarang Mas lebih ngerti soal agama dari Gita,
suka ceramahin Gita, tapi kenapa sih Mas nepatin janji gitu aja nggak bisa!
Iih! Huh! Emangnya Kiai Mas ngajarin Mas kaya gitu ya?”
“Iya,
Mas ngaku salah, tapi nggak usah bawa-bawa Kiai Ghufron juga dalam hal ini
dik!”
“Lho ini
buktinya! Semenjak Mas kenal dengan Kiai itu, kita jadi ribut terus Mas! Rumah
rasanya panas!”
“Gita!
Mas minta jangan diteruskan ya? Ya Rabbana..”
“Emang
bener kan? Kalau Kiai Mas bener kita nggak akan kaya gini Mas!”
“Please
Git! Mas minta cukup!”
“Enggak!
Mas Gagah pasti ikut aliran sesat!”
“Git!
Gita!” Gagah mengejar adiknya yang berlari keluar kamar
“Git!
Gita!” panggil Mamah yang kebetulan akan menaiki tangga. “Gagah! Kenapa sih
kamu itu? Kenapa sih mesti seperti ini? Mamah tau Gah, Mamah tau apa yang kamu
kerjakan itu baik,apa yang kamu kerjakan itu benar, tapi bukan berarti kamu
tidak bisa menjaga adik kamu dengan baik!” ucap Mamah kesal
“Tapi
Mah”
“Cukup!
Mamah Cuma minta satu hal, dengan kamu yang sekarang, kamu nggak bawa masalah
ke keluarga ini!”
###
Di dalam bus seperti biasa Yudi melakukan rutinitas
dakwahnya. Meskipun tak sedikit orang yang mencelanya, namun ia tetap
bersemangat untuk dakwah.
“Woy!
Masih pagi Bang!”
“Agak
siangan dikit napa? Nggak ada uang receh nih!”
“Assalamualaikum,
mengapa islam mengajarkan kita untuk senantiasa berbaik sangka! Khusnudzon atau
berbaik sangka akan mengokohkan persaudaraan dan persahabatan, karena itu bila
kita mendengar kata tak enak, daripada menduga-duga lebih baik kita tabayun,
tabayun adalah...”
“Woy!”
Gita memotong ceramah pagi itu. “Lu ngeselin banget ya! Maksud loe apa ngomong
kaya gitu tadi? Nyindir gue?!” perdebatan di bus itu kembali terjadi. Entah
kenapa setiap Gita naik bus di situ ia bertemu dengan Yudi si pendakwah itu.
Perdebatan ini terus berlanjut dari harike hari, hingga akhirnya Gita mulai
mengenal sosok lelaki itu yang telah menolongnya dari perampokan di dalam bus.
Di sekolah Gita menceritakan sosok Yudi itu kepada teman-temannya, bahwa ia
suka berdakwah dan cara berbicaranya pun mirip dengan Gagah. Mengingat Gagah,
Gita sangat ingin kakaknya itu berubah seperti dulu lagi.
Malam ini Gita pergi ke kamar Gagah secara diam-diam
setelah mengetahui bahwa Gagah akan pulang larut malam. Dibukanyalah labtop
milik Gagah, ia membuka foto-foto ketika Gagah masih di Ternate. Ditengah
keasyikannya memandang foto-foto itu Gagah datang. Disinilah puncak kemarahan
Gagah.
“Sejak
Papa kalian berdua pergi, Mamah mau tanya ya sama kalian berdua! Pernah nggak
Mamah ngeluh? Mamah ngebesarin kalian berdua sendiri ya! Dengan senang hati
Mama kerja dari pagi hingga malam, mestinya kalian berdua tu bahagia! Kalau
cara kalian berdua seperti ini Mamah berhak marah!”
“Tapikan
aku hanya pinjam labtopnya Mas Gagah doang!”
“Seharusnya
kamu ngomong dulu ke Mas Gagah, pasti Mas ijinin, lagian disitukan ada sesuatu
yang mungin privasi buat Mas”
“Privasi!
Sejak kapan Mas Gagah punya kata-kata privasi?! Seumur-umur kita jadi saudara
kita tu nggak pernah nyembunyiin apapun!”
“Maksud
Mas itu..”
“Gagah!
Udah ya! Potong Mamah. Cukup ya Gita! Dan kamu ya Gita walaupun Mas Gagah itu
saudara kandung kamu sendiri, nggak pantes apa yang kamu lakukan!” ucap Mamah
dengan emosinya
“Jadi
Gita, Mah, yang salah? Kenapa sih Mamah jadi belain Mas Gagah terus?” protes
Gita sembari pergi meninggalkan ruang tamu
“Kamu
lihat tu adik kamu, sekarang dia berpikir dan merasa Mamah lebih memilih kamu,
Mamah lebih membela kamu, nggak sehat ini Gah! Bukan keluarga seperti ini yang
Mamah mau!”
###
Waktu berlalu, berbagai macam cara Gagah lakukan untuk
baikan dengan adiknya Gita, namun sepertinya Gita masih belum memahami hal itu.
Hingga akhirnya Gagah mengajak Gita pergi ke sebuah acara pernikahan. Awalnya
gita merasa senang, namun ketika sampai ditempat pesta Gita merasa asing
didalamnya. Gita menjadi sosok wanita tanpa hijab diantara wanita-wanita
berhijab lainnya. Gagah meminta Gita untuk pergi ke tempat yang di sediakan
untuk akhawat. Gita merasa bingung dan terasingkan disana, ia pun nekat menemui
Gagah dan masuk ke tempat khusus ikhwan. Disanalah Gita membuat masalah sampai
akhirnya Gagah mengajaknya pulang.
“Mas tega banget sih Mas! Mas udah nggak
kaya dulu”
“tunggu
dulu Git,Mas mau ngomong”
“Nggak!
Aku tau Mas mau ngomong apa! Mas mau ceramahin Gita kan? Iya kan? Gita capek
Mas, Gita capek! Gita kesel Mas, Mas tu egois! Gita benci Mas!”
“Git,
Gita!”
Keesokanharinya Gita melihat sahabatnya yang bernama Tika
telah menggunakan hijab. Tika banyak sekali bercerita mengapa ia mau
menggunakan hijab. Hal itu membuat Gita heran, tak percaya sekaligus merasa
kesal. Bagaimana bisa teman-teman dekatnya kini mulaiberubah?. Sepulang sekolah
Gita langsung menuju kamar Mamah untuk menceritakan semuanya. Tapi tak disangka,
di genggaman Mamahnya pun terdapat jilbab. Gita semakin kesal, ia terus menerus
menyalahkan Gagah. Gita meninggalkan kamar Mamah dan menuju ke kolam renang, ia
termenung sendirian disana. Melihat itu Gagah mengirimkan pesan kepada Gita.
“Dik
Manis, maafkan Mas jika mas salah, Mas hanya melakukan sesuatu yg mas yakini
benar, mas ngga mau kamu sedih”
Setelah membaca pesan singkat itu, saking marahnya, Gita
memukulkan tangannya ke air yang ada dikolam.
Bersambung....